Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar (
KBBI III, 2005). Frasa “kata yang wajar” menekankan perbedaan utama antara akronim dan singkatan: singkatan tidak diperlakukan sebagai suatu kata.
Menurut
Pedoman Umum EYD, akronim dibentuk dengan menggabungkan huruf awal (misalnya
ABRI), gabungan suku kata (misalnya
pemilu), atau kombinasi keduanya (misalnya
Akabri). Pembentukan akronim harus memperhatikan dua syarat, yaitu (1) jumlah suku kata jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim dalam bahasa Indonesia, dan (2) ada keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
Karena diperlakukan sebagai suatu kata, akronim tidak ditulis dengan tanda titik. Penulisan akronim juga mengikuti aturan penulisan kata secara umum: diawali dengan huruf kapital jika berupa
nama diri dan ditulis seluruhnya dengan huruf kecil jika berupa
nama jenis.
Akronim nama diri yang merupakan gabungan huruf awal ditulis seluruhnya dengan huruf kapital, misalnya
IKIP,
FISIP, dll. Akronim jenis ini dapat menimbulkan keraguan dalam pengelompokannya: apakah termasuk akronim atau singkatan. Pada akhirnya, jawabannya kembali ke definisi “kata yang wajar”. Jika kependekan itu dapat dianggap sebagai suatu kata yang wajar, ia adalah akronim. Jika tidak, ia dikategorikan sebagai singkatan. Tentu saja keputusannya dapat bersifat subjektif.
Pembentukan akronim merupakan hal wajar yang terjadi pada
hampir semua bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Akronim dalam bahasa Indonesia dibentuk secara
arbitrer dan bergantung pada konsensus. Dalam suatu artikel, dinyatakan bahwa ada
sepuluh pola pembentukan akronim dalam bahasa Indonesia yang dapat dirangkum menjadi butir-butir sebagai berikut.
- Pengekalan huruf pertama tiap unsur dengan jumlah tetap (satu, dua, atau tiga), kadang dengan penghilangan kata sambung dan kata depan. Misalnya IPA, Fasa, FISIP, dan cerpen.
- Pengekalan huruf pertama tiap unsur dengan jumlah tak tetap. Misalnya dubes (2 huruf unsur pertama dan 3 huruf unsur kedua: duta besar) dan pemda (3 huruf unsur pertama dan 2 huruf unsur kedua: pemerintah daerah).
- Pengekalan suku pertama tiap unsur. Misalnya orba (orde baru).
- Pengekalan suku pertama unsur pertama dan suku terakhir unsur kedua. Misalnya balon (bakal calon).
- Pengekalan berbagai huruf dan suku kata dengan pola yang sulit dirumuskan. Misalnya Pusdikif (Pusat Pendidikan Infantri).
Menilik hasil kajian tersebut, terutama butir kelima, tampaknya sulit merumuskan kaidah sederhana bagi pembentukan akronim dalam bahasa Indonesia. Yang mungkin harus diperhatikan dalam pembentukan akronim di masa depan adalah sebagai berikut.
- Ikuti salah satu dari keempat pola yang ada untuk menciptakan keteraturan. Upayakan hindari kasus seperti butir kelima di atas.
- Upayakan untuk menciptakan suatu kata unik baru bagi akronim untuk menghindari ketaksaan dengan kata yang sudah ada.
- Hindari akronim yang dapat memiliki dampak atau makna negatif pada suatu lingkungan atau kelompok tertentu.
Saya jadi ingat pernyataan
Bung Ajo di
Twitter bahwa akronim
markus (makelar kasus) tidak sesuai dengan kaidah pembentukan akronim. Waktu itu saya berpendapat bahwa akronim dalam bahasa Indonesia memang bersifat manasuka dan tidak memiliki pola tertentu. Akronim
markus tidak bisa disalahkan menurut kaidah yang telah ada. Jika dilihat dari butir-butir di atas,
markus masuk dalam pola ke-5 (sulit dirumuskan), tidak unik karena sudah ada
makna yang melekat pada kata tersebut, dan memiliki dampak negatif pada suatu kelompok tertentu (makna asli “orang suci” bagi umat Kristen terselewengkan menjadi berkonotasi negatif). Mungkin bisa digunakan akronim
masus (pola keempat) atau
makas (pola kedua).
Kita perlu semacam “kamus akronim” yang terus dimutakhirkan dan digunakan sebagai rujukan untuk mengurangi perdebatan
masalah bentuk baku suatu akronim. Lebih baik lagi jika “kamus” tersebut dilengkapi dengan etimologi atau cerita pembentukannya agar
tidak kering makna historis.