Menurut Pedoman Umum EYD, akronim dibentuk dengan menggabungkan huruf awal (misalnya ABRI), gabungan suku kata (misalnya pemilu), atau kombinasi keduanya (misalnya Akabri). Pembentukan akronim harus memperhatikan dua syarat, yaitu (1) jumlah suku kata jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim dalam bahasa Indonesia, dan (2) ada keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
Karena diperlakukan sebagai suatu kata, akronim tidak ditulis dengan tanda titik. Penulisan akronim juga mengikuti aturan penulisan kata secara umum: diawali dengan huruf kapital jika berupa nama diri dan ditulis seluruhnya dengan huruf kecil jika berupa nama jenis.
Akronim nama diri yang merupakan gabungan huruf awal ditulis seluruhnya dengan huruf kapital, misalnya IKIP, FISIP, dll. Akronim jenis ini dapat menimbulkan keraguan dalam pengelompokannya: apakah termasuk akronim atau singkatan. Pada akhirnya, jawabannya kembali ke definisi “kata yang wajar”. Jika kependekan itu dapat dianggap sebagai suatu kata yang wajar, ia adalah akronim. Jika tidak, ia dikategorikan sebagai singkatan. Tentu saja keputusannya dapat bersifat subjektif.
Pembentukan akronim merupakan hal wajar yang terjadi pada hampir semua bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Akronim dalam bahasa Indonesia dibentuk secara arbitrer dan bergantung pada konsensus. Dalam suatu artikel, dinyatakan bahwa ada sepuluh pola pembentukan akronim dalam bahasa Indonesia yang dapat dirangkum menjadi butir-butir sebagai berikut.
- Pengekalan huruf pertama tiap unsur dengan jumlah tetap (satu, dua, atau tiga), kadang dengan penghilangan kata sambung dan kata depan. Misalnya IPA, Fasa, FISIP, dan cerpen.
- Pengekalan huruf pertama tiap unsur dengan jumlah tak tetap. Misalnya dubes (2 huruf unsur pertama dan 3 huruf unsur kedua: duta besar) dan pemda (3 huruf unsur pertama dan 2 huruf unsur kedua: pemerintah daerah).
- Pengekalan suku pertama tiap unsur. Misalnya orba (orde baru).
- Pengekalan suku pertama unsur pertama dan suku terakhir unsur kedua. Misalnya balon (bakal calon).
- Pengekalan berbagai huruf dan suku kata dengan pola yang sulit dirumuskan. Misalnya Pusdikif (Pusat Pendidikan Infantri).
- Ikuti salah satu dari keempat pola yang ada untuk menciptakan keteraturan. Upayakan hindari kasus seperti butir kelima di atas.
- Upayakan untuk menciptakan suatu kata unik baru bagi akronim untuk menghindari ketaksaan dengan kata yang sudah ada.
- Hindari akronim yang dapat memiliki dampak atau makna negatif pada suatu lingkungan atau kelompok tertentu.
Kita perlu semacam “kamus akronim” yang terus dimutakhirkan dan digunakan sebagai rujukan untuk mengurangi perdebatan masalah bentuk baku suatu akronim. Lebih baik lagi jika “kamus” tersebut dilengkapi dengan etimologi atau cerita pembentukannya agar tidak kering makna historis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar